A.
Pengertian Postmodernisme
Awalan post
pada istilah itu banyak menimbulkan perbedaan arti. Lyotard mengartikan post berarti pemutusan hubungan
pemikiran total dari segala pola kemodernan.[1]
David Griffin, mengartikannya sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu
saja dari kemordenan.[2]
Sementara menurut Tony Cliff, postmodernisme berarti suatu teori yang menolak
teori.[3]
Akhiran “isme” berarti aliran atau sistem pemikiran yang menunjuk pada
kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia, epistemologi, dan ideologi modern.[4]
Postmodernisme
telah digunakan dalam berbagai
bidang, sehingga tidak mengherankan jika maknanya menjadi kabur. Istilah
tersebut dipakai dalam bidang musik,
seni
rupa, fiksi (novel), dan filsafat ( Lyotard,
Derrida, Vattimo). Istilah postmodernisme
disana digunakan secara kontroversial, sehingga tokoh-tokoh yang bisa dimasukkan dalam
daftar nama-nama tersebut sama kontroversialnya.[5]
Istilah postmodernisme pertama kali digunakan oleh
Frederico de Onis pada tahun 1930an untuk menyebut gerakan kritik di bidang
sastra, khususnya sastra Prancis dan Amerika Latin. Onis menyebut tahap
modernisme awal antara tahun 1896-1905 dan tahap postmodernisme antara tahun
1905-1914 yang ia sebut “periode
intermezzo”, dan modernitas yang lebih tinggi kualitasnya – dalam tahap
ultramodern antara tahun 1914-1932. Kemudian pada 1947, sejarawan Arnold
Toynbee memakai kata postmodern dalam
buku A Study of History. Bagi
Toynbee, pengertian postmodern adalah
masa yang ditandai perang, gejolak sosial, revolusi yang menimbulkan anarki,
runtuhnya rasionalisme dan pencerahan. Pada tahun yang sama, Rudolf Panwitz
menyebut “manusia postmodern” sebagai manusia sehat, kuat, nasionalis, dan
religious yang muncul dari nihilisme Eropa. Postmodernisme adalah puncak
modernisme. Pada tahun 1957, Peter Drucker menulis subjudul Laporan tentang Dunia Pascamodern dalam
bukunya The Landmarks of Tomorrow.
Drucker memperkenalkan istilah postmodern untuk menyebut perkembangan baru
dalam bidang ekonomi yang sudah memasuki zaman pascaindustri/pascakapitalis,
dan revolusi gelombang ketiga.[6]
Postmodernisme
merupakan gerakan kontemporer. Gerakan ini kuat dan modis. Namun demikian,
tidak jelas gerangan ini. Kejelasan bukanlah ciri yang menonjol dari gerakan
ini. Tidak hanya sulit mempraktikanya, tetapi kadang kala juga sulit
menolaknya. Yang jelas tidak ada “pasal kepercayaan posmodernisme no.39”, atau
“Manifesto Posmodernisme”, yang dapat
dipakai oleh seseorang untuk
mengukur ketepatan penilaiannya terhadap
posmodernisme.[7]
Pemikiran Lyotard berkisar tentang posisi pengetahuan
di abad ilmiah kita, khususnya tentang cara ilmu dilegitimasikan melalui yang
disebutnya “narasi besar” seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi, kaum
proletar, dan sebagainya. Metaranasi itu menurut Lyotard, telah mengalami nasib
yang sama dengan narasi-narasi besar
sebelumnya seperti religi, negara-kebangsaan, keunggulan Barat, dan sebagainya,
yang sulit dipercaya. Dengan kata lain, dalam abad ilmiah ini narasi-narasi
besar menjadi tidak mungkin, khususnya narasi tentang peranan dan kesahihan
ilmu itu sendiri. Maka nihilisme, anarkisme, dan pluralisme “permainan bahasa”
pun merajalela. Yang perlu ditunjukkan sekarang adalah kepekaan baru terhadap
perbedaan-perbedaan dan keberanian melawan segala bentuk totaliterisme.[8]
Dengan pandangan itulah, Lyotard membawa istilah postmodernisme ke dalam medan diskusi
filsafat lebih luas. Sejak saat itu segala kritik atas pengetahuan universal,
atas tradisi metafisik, fondasionalisme, maupun atas modernisme, diidentikkan
dengan postmodern. Oleh sebab itu,
istilah postmodernisme di bidang
filsafat dan ilmu pengetahuan memang ambigu; ia menjadi sekedar istilah yang
memayungi hampir segala bentuk kritik atas modernisme, meskipun satu sama lain
berbeda. Dengan demikian, istilah postmodernisme dipahami sebagai “segala bentuk refleksi kritis atas
paradigm-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya”.[9]
B. Konteks
Sosial yang Melahirkan : “Penyimpangan” Modernisme
Rasionalitas, hasil pencerahan akal budi akan membantu
kita menghadapi mitos-mitos dan keyakinan-keyakinan tradisional yang tak
berdasar, yang membuat manusia tak berdaya dalam menghadapi dunia ini. Barker
menjelaskan bahwa akal dapat mendemistifikasi dan menyingkap dunia, mengalahkan
agama, mitos, dan takhayul. Dalam filsafat dan wacana teoritis modernitas,
“akal” dinobatkan sebagai sumber kemajuan dalam pengetahuan dan masyarakat. Di
sini tugas filsafat pencerahan adalah berupaya untuk mencari kebenaran
universal, yakni prinsip-prinsip pengetahuan yang berlaku pada waktu, tempat,
dan budaya mana pun. Peran pemikiran pencerahan bagi kemajuan hidup manusia
adalah mendorong perkembangan ilmu-ilmu, pendidikan universal, kebebasan
politik dan keadilan.[10]
Namun demikian, modernisme mempunyai sisi gelap yang
menyebabkan kehidupan manusia kehilangan disorientasi. Para pemikir, seperti
Max Horkheimer, dan Herbert Marcuse , mengkritik bahwa pencerahan bukannya
melahirkan kemajuan, tetapi justru memunculkan penindasan dan dominasi. Akal
mengarah bukan pada pemenuhan kebutuhan material atau pencerahan filosofis, melainkan
pada kontrol dan perusakan. Teori kritis ingin membebaskan manusia dari
pemanipulasian para teknokrat modern.[11]
“Sisi gelap” modernisme, menurut Anthony Giddens dalam
The Consequences of Modernity (1990),
menimbulkan berkembang biaknya petaka bagi umat manusia. Pertama, penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa. Kedua, penindasan oleh yang kuat atas
yang lemah. Ketiga, ketimpangan
sosial yang kian parah. Keempat,
kerusakan lingkungan hidup yang kian mengkhawatirkan. Produk akhir yang
menimbulkan petaka tersebut, terutama dipicu oleh: Pertama, kapitalisme liberal yang menyaratkan kompetisi tiada akhir
akan pertarungan pasar. Kedua, industrialisme
yang mensyaratkan inovasi tiada henti untuk memenangkan persaingan pasar bebas.
Ketiga, lemahnya kekuatan negara di
dalam mengemban tugas minimalnya untuk menciptakan tertib sosial yang aman,
rukun, damai, dan adil.[12]
C. Filsuf Awal
Postmodernisme
Awal
mulanya modernisme dan munculnya postmodernisme sebenarnya dapat dilacak pada
filsafatnya Soren Kierkegaard (1813-1855), yang menentang
rekonstruksi-rekonstruksi rasional dan masuk akal yang menentukan keabsahan
kebenaran ilmu. Kriteria kebenaran yang berlaku bagi dunia modern adalah yang
rasional dan objektif. Kierkegaard justru berpendapat sebaliknya, bahwa
kebenaran itu bersifat subjektif, “truth
is subjectivity”. Pendapat tentang “kebenaran subjektif” ini menekankan
pentingnya pengalaman dan relativitas, yang dialami oleh individu-individu.[13]
Di sini Nietszche (1844-1900) jelas menolak pengetahuan yang mengandung
kebenaran bagi siapa saja, di mana saja, dan kapan saja, karena pengetahuan itu
bukan persoalan penemuan sejati, melainkan perkara konstruksi
interpretasi-interpretasi tentang dunia yang dianggap benar. Kebenaran juga
bukan merupakan sekumpulan fakta karena yang mungkin dilakukan hanyalah
interpretasi dan “dunia bisa diinterpretasikan dalam cara-cara yang tak
terbatas jumlahnya”.[14]
Keraguan
Nietszche untuk mengakui universalitas pengetahuan dapat kita telusuri ke masa
sebelumnya sampai pada kaum skeptis. Kaum skeptis, misalnya kaum sophis, memang
menolak adanya pengetahuan universal. Bagi mereka, “man is the measure of all things”. Baik dan jahat, cantik dan buruk
tergantung pada kebutuhan, kondisi, kepribadian orang tersebut. Tidak ada norma
umum untuk menentukan itu. Jika sering kali fakta dijadikan bukti atas
kepastian suatu pengetahuan, namun keyakinan kaum skeptis tetap tidak
tergoyahkan karena mereka tetap meragukan cara kita tahu bahwa bukti itu benar
dan bukan hanya tipuan. Intinya, secara radikal kaum skeptis menolak adanya
pengetahuan. Demikian juga dengan Nietszche yang menolak akal pencerahan dan
pengetahuan universal.[15]
Edmund
Husserl (1859-1938), dipandang sebagai tokoh penting perintis postmodernisme.
Dalam karyanya The Idea of Phenomenology,
Husserl mencoba mengatasi persoalan “subjek-objek” dengan cara membongkar
secara efektif paham tentang “subjek-epistemologis” dan “dunia objektif”. Sejak
itu, persoalan epistemologi dan juga tentang “ilmu” dan “keilmiahan”
terus-menerus dipertanyakan. [16]
Di samping
Kierkegaard, Nietszche, dan Husserl, Martin Heidegger (1889-1976) juga
dipandang sebagai perintis postmodernisme. Heidegger sangat kritis terhadap
filsafat modern tentang manusia. Manusia bukanlah segumpal substansi berpikir
yang sadar diri, atau makhluk yang kerjanya memikirkan dan merumuskan hal
ihwal; tetapi manusia adalah dasein ia
“ada dalam dunia”. Hubungan manusia dengan kenyataan tidak semata-mata hubungan
intelektual, subjek memahami objek.[17]
D. Teoretisi Poastmodernisme
1.
Francouis Lyotard
Dilahirkan di Versailles 10 Agustus 1924, dan
meninggal di Paris tanggal 21 April 1998. Bukunya yang pertama adalah sebuah
introduksi pada fenomenologi, dan fenemenologi tetap memiliki pengaruh kuat
pada karya-karya Lyotard.[18]
Bagi Lyotard, postmodernisme itu sepertinya intensifikasi dinamisme,
upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi
kehidupan terus-menerus. Lyotard mengatakan, “Marilah kita perangi totalitas,
marilah kita hidupkan perbedaan”.[19]
Kenyataannya postmodern menjadi wadah pertemuan berbagai perspektif
teoretis yang berbeda-beda: “Ilmu pengetahuan postmodern memperluas kepekaan
kita terhadap pandangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita untuk
bertoleransi atas pendirian yang tak mau dibandingkan”.[20]
2.
Michael Foucault
Memang tidak secara tegas menolak keuniversalan
pengetahuan, tetapi dari pandangannya tentang “wacana yang bersifat diskontinu”
tampaklah penolakan itu. Bagi Foucault, setiap era sejarah memiliki pandangan,
deskripsi, klasifikasi, dan pemahaman tentang dunia secara khas. [21]
Ada beberapa asumsi pemikiran pencerahan “klasik” yang
ditolak oleh Foucault, yaitu:
1.
Pengetahuan itu
tidak bersifat metafisis, transendental atau universal, tetapi khas untuk
setiap waktu dan tempat.
2. Tidak ada pengetahuan menyeluruh yang mampu menangkap
karakter “objektif” dunia, tetapi pengetahuan itu selalu mengambil perspektif.
3. Pengetahuan tidak dilihat sebagai cara pemahaman yang
netral dan murni, tetapi selalu terikat dengan rezim-rezim kekuasaan.
4. Pengetahuan sebagai wacana tidak muncul sebagai
evolusi sejarah yang konstan, melainkan bersifat diskontinu.[22]
3. Jacques
Derrida
Filsuf
yang satu ini tidak terlepas dari buah pikirannya tentang dekonstruksi.[23]
Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks secara interpretatif atau,
katakanlah, suatu hermeneutik dengan cara radikal. Heidegger ingin melampaui
interpretasi makna Ada seperti itu
dengan mencoba memikirkan sesuatu yang Ada
di luar tradisi metafisika Barat. Dengan cara itu ia mempersiapkan penyelesaian
suatu era yang ia sebut “metafisika”. Derrida meneruskan upaya ini, namun di
posisisnya berbeda: Ia tidak menerima perspektif Heidegger yang mengangkat
dirinya berada di luar tradisi dan juga tidak menerima hermeneutik yang “lazim”
yang memandang tradisi sebagai tolok ukur. Posisi Derrida di pinggiran:
Dekonstruksi bergerak pada batas-batas di antara kedua perspektif tersebut.[24]
4. Fredric
Jameson (1934)
Fredric Jameson lahir 14 April 1934 di Cleveland, Ohio.
Kini ia menjabat sebagai Profesor of Comparative Literature di Duke University
(Durham NC, USA). Sudah puluhan esai dan belasan buku yang ia telah tulis sejak
1961 sampai sekarang. Karya-karyanya menganalisis teks sastra dan budaya dengan
mengambil posisi neo-Marxis.
Teori: Logika Kultural Kapitalisme Akhir
Istilah “kapitalisme lanjut” (late capitalism) mulai
digunakan di Eropa menjelang akhir tahun 1930-an, yaitu ketika banyak ahli
ekonomi percaya kapitalisme bergerak mendekati ajalnya. Menurut ahli ekonomi
berhalauan Marxist, Ernest Mandel, yang mempopulerkan penggunaan istilah “late
capitalism” ini dalam desertasi doctoralnya 1972, Late Stage Capitalism akan didominasi oleh machinations – atau
fluiditas dari modal financial. Dalam tradisi Marxist klasik, Mandel mencoba
menegaskan hakikat dari epos modern sebagai satu keutuhan, guna menunjukkan
bagaimana kekuatan-kekuatan yang sama yang telah mendorong pengumpulan laba
setelah perang dunia terjadi pada akhirnya akan berbalik arah secara dialektis,
dan menjadi penyebab dari keruntuhannya. Periode late capitalism yang dipakai Jameson dipinjam dari periodesasi yang
dibuat oleh Mandel, yang membagi perkembangan kapitalisme menjadi tiga fase,
yaitu kapitalisme pasar, monopoli (imperialism), dan modal multinasional.
a. Kritik terhadap postmodernisme
Dalam buku The
Philosophical Discourse of Modernity, Habermas mengemukakan berbagai
kritiknya terhadap pemikiran postmodernisme. Ia menyatakan bahwa asal-usul
konsep “post-modernity” itu sendiri harus diteliti. Habermas menyatakan ada
kelemahan mendasar pemikiran kaum posmodernis tentang “modernitas” yang
dianggap historis. Para pemikir postmodernis seakan-akan menghilangkan dimensi
dan cakrawala historis yang memunculkan “postmodern” itu. Para pengikut Hegel,
termasuk Teori Kritis Mazhab Frankfurt, mencoba mengatasi masalah modernitas
dengan tetap bertolak dari asumsi-asumsi epistemologi modern.
Nietszhe justru mengambil jalan radikal dengan mencoba
mengatasi modernitas dengan meninggalkan proyek modernitas dan rasionalitas
modern itu. Nietszhe meninggalkan proyek rasionalitas modern dengan
menyingkirkan kepercayaan pada sejarah dan rasionalitas, dan akhirnya
menyatakan bahwa tidak ada batas yang jelas antara mitos dan logos. Perbedaaan
mitos dan logos (rasionalitas) adalah pembatasan yang dilakukan pemikiran
filsuf Yunani. Mitos masa lalu memberikan kreativitas bagi pemikiran
postmodern. Karena itu, dari perspektif Nietszhe, tidak ada kebenaran ilmu
pengetahuan yang absolute universal (kebenaran), yang ada adalah
kebenaran-kebenaran yang terkait dengan perspektif dan historis.
Para pemikir postmodernis, yang disebut oleh Habermas
sebagai pengikut Niatszhe, memiliki dua strategi yang sebagai akibat ambiguitas
pemikiran Nietszhe sendiri dalam mengkritik modernitas. Pertama, kelompok yang berupaya untuk menyingkapkan kehendak untuk
berkuasa sebagaimana dilakukan Foucault. Sedangkan kelompok kedua masuk melalui kritik terhadap
metafisika seperti yang dilakukan oleh Heidegger dan Derrida. Habermas menolak
untuk menyerah pada adanya kemungkinan pemahaman ilmiah atau rasional atas
dunia kehidupan serta kemungkinan rasionalisasi dunia tersebut.
Postmodernisme membuka ruang bagi politik perbedaan
dan wacana marginal (the politics of
difference and marginal discourse) sebagai cara untuk penegakan keadilan
dan perubahan sosial. Ada karakteristik yang sama dan menjadi ciri utama Teori
Kritis dan postmodern, yaitu bahwa teori sosial harus memilki peran yang
berarti bagi proses transformasi dunia dan meningkatkan kondisi kemanusiaan
pada arah yang lebih manusiawi. Hal ini terlihat jelas pada teori poskolonial,
feminisme, dan cultural studies atau
multikulturalisme.
Fredric Jameson dalam tulisannya “Postmodernisme dan
Masyarakat Konsumer” menyatakan bahwa datangnya era postmodern membawa – serta
pemusnahan telak distingsi-distingsi tempat bergantungnya Teori Kritis itu.
Selanjutnya, Jameson menyatakan bahwa distingsi kebudayaan tinggi dengan
kebudayaan massa (kebudayaan rakyat atau rendah) secara tradisional memiliki vested interest dalam memelihara
realisme kebudayaan tinggi berhadapan dengan kebudayaan massa. Perkembangan
masyarakat postmodern tahun 1960-an adalah periode transisional yang ditandai
dengan munculnya bentuk baru kolonialisme, green
revolution. Kemunculan system informasi baru dengan komputerisasi informasi
dan sistem politik global telah membawa – serta egalitearianisme budaya yang
melikuidasi distingsi antara kebudayaan tinggi dengan kebudayaan rendah.[25]
Holub merumuskan beberapa kritik Habermas terhadap
postmodernisme antara lain:
§ Pemikir postmodernis kurang tegas membedakan apakah
mereka menciptakan teori yang serius (ilmiah) atau mengarang sastra. Bila kita
katakan mereka menciptakan teori yang serius maka karya mereka menjadi tidak
dapat dipahami, karena penolakan mereka terlibat dalam “vocabularies” atau
terma ilmiah yang dibangun secara institusional. Sebaliknya, jika kita anggap
karya mereka sebagai kesusastraan “maka argument mereka mengorbankan seluruh
kekuatan logika”. Adalah sulit mengemukakan kritik terhadap karya-karya
postmodernis, karena mereka selalu mengemukakan bahwa para pengritiknya tidak
dapat memahami kata-kata serta upaya keras gaya tulis mereka.
§ Habermas merasa bahwa argumen para postmodernis sarat
dengan sentiment normatif, namun sentiment mereka itu disembunyikan dari
pembaca. Dengan demikian, para pembaca tidak mengerti maksud sesungguhnya
pemikiran postmodernis itu, tidak juga mengerti mengapa mereka mengkritik
masyarakat dari sudut pandang yang mereka tetapkan sendiri. Sebaliknya,
Habermas mengemukakan sentiment normatifnya (kebebasan, keterbukaan komunikasi)
yang dijadikan sumber kritiknya terhadap masyarakat serta bisa menjadi basis
bagi praksis politiknya.
§ Habermas mengkritik postmodernisme sebagai perspektif
yang gagal “membedakan fenomena dan praktik yang terjadi pada masyarakat
modern”. Pemikir postmodern dituduh mengabaikan praktik kehidupan dunia.
Kekeliruan ini merupakan kerugian ganda bagi pemikir postmodern.[26]
b.
Postmodernisme
dan Kritik Pembangunan
Pemikiran-pemikiran postmodernisme dapat digunakan
untuk menganalisis diskursus terhadap tantangan pembangunan. Kata development, yang diterjemahkan ke
bahasa Indonesia menjadi “pembangunan”, menyiratkan dominasi, penindasan, dan
pengeksplotasian. Postmodernisme telah menyumbangkan perkembangan teori kritik
terhadap teori pembangunan dan modernisasi dari perspektif yang sangat berbeda
dengan teori-teori kritik sebelumnya.
Sumbangan terbesar postmodernisme terhadap teori dan
perubahan sosial adalah membuat teori itu lebih sensitive terhadap relasi
kekuasaan dan dominasi menyadarkan kita bagaimana relasi kekuasaan teranyam di
setiap aspek kehidupan, dan ini bertentangan dengan ilmu sosial umumnya yang
berasumsi itu objektif dan tak berdosa.
c.
Kilas Balik
Postmodernisme
Modernisme dan postmodernisme tidak sekedar sebagai
aliran filsafat dan teori sosial yang hanya berorientasi pada konsep, sistem,
dan metode saja. Lebih dari itu, menurut Habermas, modernisme atau modernitas
telah mulai dikembangkan oleh Hegel (1770-1881) karenanya dia menganjurkan kita
kepada Hegel jika ingin memahami lebih jauh hubungan internal antara modernitas
dan rasionalitas. Para pemikir modernisme kontemporer seperti Karl Popper,
Houston Smith, dan Habermas, tidak menganggap penting soal timbulnya gerakan
postmodernisme.
Sementara itu, postmodernisme, seperti dikatakan oleh
Derrida dan Lyotard, merupakan antithesis dari modernisme. Hampir semua istilah
yang diajukan oleh postmodernisme adalah antonimasi terma modernisme. Berikut
ini beberapa istilah yang biasa digunakan oleh dua aliran tersebut:
MODERNISME
|
POSTMODERNISME
|
Sentralisasi
Pertarungan
Kelas
Konstruksi
Teori
Agama
|
Desentralisasi
Pertarungan
Etnis
Dekonstruksi
Paradigma
Sekte-sekte
|
Semua
istilah dalam daftar tersebut adalah kekontrasan dan antonimisasi. Karena
istilah merupakan bagian dari bahasa, dan bahasa merupakan pemikiran dan
penerapan logika, maka modernisme menggunakan pola pikir dikotomik dan logika
binner, sementara postmodernisme menggunakan pola pikir dan logika anti
kemapanan.
Postmodernisme dapat dibagi dalam dua aliran besar,
yakni postmodernisme epistemologis dan postmodernisme empiris. Kelompok
postmodernisme epistemologi mempertanyakan gagasan-gagasan dasar seperti
“filsafat”, “rasionalitas”, “epistemologi” modernisme digugat secara radikal.
Pemikir postmodernisme yang dapat dimasukkan dimasukkan dalam kelompok ini
adalah Lyortad, Derrida, Faucauld, dan Rorty.[27]
Sementara pemikiran postmodern empiris lebih
diorientasikan pada hal-hal yang bersifat dampak nyata dari kemodernan. Seperti
dikatakan oleh Rekha Mirchandani, bahwa riset postmodernisme empirik diarahkan
untuk mengembangkan konsep-konsep seperti reorganisasi ruang dan waktu,
masyarakat beresiko, kapitalisme konsumen, dan postmodernisme etik .[28]
Pemikiran yang dapat dikelompokkan kedalam postmodernisme empiris ini, antara
lain, Baudrillard, Jameson, dan Ulrich Beck.
d. Relevansi
Postmodernisme bagi Kehidupan Masa Kini
Banyak hal menarik dan bisa diterima dari apa yang
ditawarkan oleh pasca modernisme. Lepas dari sah atau tidaknya keberadaan pasca
modernisme kenyataanya dia ada dan keberadaanya harus diakui.
Pasca modernisme ingin menghilangkan pendasaran umum
dan lebih melihat cerita-cerita kecil. Tanpa ada kerangka atau dasar pijakan
tersebut kita tidak bisa bicara apa-apa. Disini akan mudah terjadi kesewenang-wenangan
dan yang menjadi korban sudah tentu masyarakat bawah atau kecil.[29]
Pasca modernisme menjadi kurang cerdas jika menganggap semua cerita besar perlu
didekonstruksi. Namun, pasca modernisme tidak
mampu melakukan itu. Dekonstruksi yang sebenarnya, kata Franz Magnis
Suseno adalah menganalis dengan teliti.[30]
Dengan melihat sisi negative postmodernisme, apakah
dengan demikian ia harus dibuang? Tentu sisi positifnya masih ada. Ia telah
mengingatkan kepada kita agar mewaspadai teori-teori besar, jangan sampai
berkembang menjadi ideologi. Postmodernisme tetap dapat dikembangkan dan dipercaya
asal ia tidak memutlakkan prinsip dia sendiri dengan menghilangkan prinsip
pihak lain. Segala sesuatu perlu dikritisi, dipertanyakan, apakah ia benar
berjuang demi menegakkan martabat dan kebahagiaan manusia yang lebih besar,
serta sifat saling menghargai manusia sebagai individu-individu dengan segala
keunikan dan keberagamannya. Pasca modernisme memberikan hak untuk menyuarakan
pendapat dan terus menjalankan sifat emansipatoris.[31]
[1].
Sebagaimana dikutip oleh Ali Maksum, The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984).
[2].
Sebagaimana dikutip oleh Ali Maksum, The Re-enchanment
of Science: Postmodern Proposal (Albany: State University of New York,
1988).
[3].
Sebagaimana dikutip oleh Ali Maksum, “http://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernism”.
[4]. Ali
Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa
Klasik hingga Postmodernisme (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm.306.
[5]. Ernest
Gellner, Menolak Postmodernisme
(Bandung: Mizan, 1994).
[6]. Ali
Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa
Klasik hingga Postmodernisme (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 1994), hlm.306.
[7]. Christopher
Norris, Membongkar Teori Dekonstruksi
Jacques Derrida (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), hlm. 154.
[8].
Sebagaimana dikutip oleh Ali Maksum, The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984), hlm. xxv dan 82.
[9].
Sebagaimana dikutip oleh Ali Maksum. Istilah “Postmodernisme” digunakan dalam
banyak arti dan pemahaman yang kadang saling bertentangan. David R. Griffin, God and religion in the Post-Modern World
(New York: State University of New York, 19880, hlm. x-xi. Mike Featherstone,
“In Pursuit of the Postmodern: an Introduction”, dalam Theory Cultural and Society Vol.5, 1988, hlm. 195-213.
[10].
Sebagaimana dikutip oleh Ali Maksum, Cultural
Studies Tantangan bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan (Jakarta: Koekoesan,
2007), hlm. 70.
[11].
Sebagaimana dikutip oleh Ali Maksum. Dilema
Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam
Rangka Sekolah Frankfurt (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. xiii.
[12].
Sebagaimana dikutip oleh Ali Maksum, The
Consequence of Modernity (Stanford University Press, 1990).
[13].
Sebagaimana dikutip oleh Ali Maksum, A
Short History of Philosophy, terjemahan (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002),
hlm. 411.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar