Kamis, 18 Juli 2013

tradisi sadranan


Sadranan merupakan tradisi Jawa yang sudah ada sejak dulu. Nyadran atau sadranan adalah kegiatan sosial keagamaan tahunan. Esensinya adalah melakukan ziarah ke makam para leluhur. Nyadran ini dialakuan mayarakat jawa dengan tujuan bersuci diri sebelum memasuki Ramadan, juga dilakukan oleh sebagian masyarakat dengan saling bermaaf-maafan menjelang berakhirnya bulan Syaban. Tujuannya supaya ketika menjalani puasa pada bulan Ramadan, secara batin meraka merasa sudah bersih dari beban dosa antarsesama (hablum minannas).
 Bagi komunitas sosial saat ini, nyadran dipahami sebagai bentuk pelestarian tradisi nenek moyang. Pada zaman dahulu, sadranan dilakukan untuk memberi pemujaan dan pertolongan pada leluhur, sebab dipercaya bahwa arwah leluhur yang telah meninggal itu masih hidup. Upacara sadranan pada zaman dahulu, biasanya menggunakan sesajen berupa makanan yang tidak enak untuk dimakan, misalnya daging mentah, darah ayam, dan kluwak. Setelah agama Islam masuk ke Jawa, para wali merubah upacara sadranan dengan cara yang halus agar sesuai dengan ajaran Islam. Pemujaan kepada leluhur diubah menjadi pemujaan pada Allah SWT. Sesajen yang menggunakan makanan yang tidak enak diubah menjadi makanan yang enak untuk dimakan.
  Tradisi Sadranan (Nyadran) untuk sekarang ini dipengaruhi kuat oleh agama Islam. Sebenarnya kata Sadranan berasal dari bahasa sansekerta, Sraddha yang berarti keyakinan. Akan tetapi, tradisi Sadranan dikemas ulang oleh Sunan Kalijaga dalam nuansa Islamik dan silahturahmi.
Sadranan dalam Pandangan Islam
M. Ngemron, salah satu dosen UMS menuturkan sadranan berasal dari kata shodrun yang berarti dada. Di dalam dada ada qolbun atau hati. Di dalam hati terdapat fu’ud atau mata hati yang tidak bisa ditipu. Menurut Ngemron, ada pihak-pihak yang menyebut tradisi sadranan  itu termasuk bidah dan musyrik. Menurutnya, sebelum menilai demikian perlu memaknai sadranan itu sendiri.Sadranan  dilaksanakan pada bulan Ruwah, yang berasal dari kata ”roh”. Manusia itu punya roh. Roh itu bermakna sifat yang menyerupai Allah. Manusia memiliki sifat-sifat ilahiah, sifat-sifat yang mulia atau luhur. Pada bulan Ruwah, orang Jawa banyak yang mengingat asal mula kejadian manusia. Ketika sadranan, ada doa dan silaturahim. Seseorang yang berdoa akan memberikan sugesti atau kekuatan pada diri orang itu. Kekuatan cipta itu akhirnya akan melahirkan karsa atau perbuatan. Adapun bagi yang menjalin silaturahim saat sadranan, orang tersebut mempersiapkan diri untuk mensucikan diri dalam rangka pertobatan. Setelah roh disucikan dan bersih dari noda-noda kemudian mendekatkan diri kepada Allah ketika Ramadan tiba.
Menurut Widodo, salah satu ulama di Sukoharjo mengatakan sadranan merupakan sarana untuk mengingat kematian dan menjalin silaturahim. Siapa saja yang ingin dipanjangkan umurnya dan diluaskan rezekinya harus memperbanyak silaturahim. Ada orang-orang yang salah paham dengan tradisi sadranan. Ada beberapa hal yang perlu diluruskan terkait sadranan yaitu pertama, tidak meminta kepada orang-orang yang sudah meninggal tapi mengingat akan kematian dan mendoakan arwah leluhur, keluarga, orangtua. Kedua, makanan yang dibawa orang-orang yang hadir di sadranan bukan bentuk sesajen. Makanan itu merupakan sedekah karena kemudian dimakan bersama-sama.
Hal-hal yang Dilakukan saat Tradisi Sadranan
Sadran merupakan ritual yang rutin digelar kaum Kejawen setiap bulan sa'ban (ruwah). Upacara ini bertujuan untuk menyambut datangnya bulan puasa. Upacara Sadran dilakukan mulai tanggal 17-24 Sa'ban. Upacara ini diawali dengan bersih kubur, dilanjutkan dengan acara kepungan (kenduren), lalu perlon di pesemuan (rumah adat warga Kejawen), serta dilanjutkan dengan nderek (mengunjungi makam leluhur). Sadranan yang sudah berjalan sejak jaman dahulu kala ini tetap di pertahankan oleh masyarakat, Upacara Tradisional Sadranan yang pada intinya adalah mendoakan arwah para leluhur yang telah meninggal dunia supaya arwahnya diterima disisi Tuhan Yang Maha Esa. Adapun dirumah sesepuh kampung dengan membawa hidangan pelaksanaannya ada yang di Makam.
Dan yang paling utama dari Upacara Tradisional Sadranan adalah pembacaan doa Yaasin dan Tahlil Zikir bersama. Setiap bulan Ruwah tanggal 15 sampai dengan menjelang bulan puasa, di daerah Jawa secara bergantian dari kampung ke kampung mengadakan Upacara Tradisional Sadranan tersebut. Dan yang mengherankan dari tradisi ini adalah semua masyarakat datang berbondong-bondong untuk bersilaturahmi dan menjalin persaudaraan dengan saling mengunjungi rumah per rumah dengan menyantap hidangan yang disajikan. Maksud dan tujuan lainnya yaitu ikut mencari berkah kepada para leluhur yang telah meninggal dunia. Kuatnya nilai-nilai tradisi pada masyarakat yang masih menjalankannya tersebut didasari keyakinan bahwa setelah Upacara Tradisional Sadranan tersebut dilaksanakan maka dalam bekerja untuk mencari nafkah akan diberikan kelancaran dan kemudahan.
Di daerah Pesanggrahan, Banyumas, acara ritual resik kubur (bersih-bersih kuburan) biasanya dilakukan pada pagi hari dengan membawa berbagai macam perlengkapan, seperti sapu lidi, sabit, bunga, kemenyan, korek api, dan upet. Upet adalah alat untuk membakar kemenyan, biasanya terbuat dari mancung kelapa atau kulit bunga kelapa. Setelah membersihkan makam keluarga mereka memanjatkan doa agar arwah keluarga mereka tentram di alam keabadian (baqa). Doa dilakukan dengan adat sungkem dan diucapkan dalam bahasa Banyumasan. Setelah itu, anggota tertua memimpin doa dalam bahasa Arab.
Setelah resik kubur, acara dilanjutkan dengan acara munjungi, yaitu kegiatan saling mengirim makanan kepada para kerabat dan orang-orang yang dihormati. Munjungi biasanya dilakukan oleh anak-anak, karena setiap mengantar makanan biasanya akan diberi sangu (uang saku) oleh kerabat yang dipunjungi (orang yang dikirim makanan). Punjungan (makanan yang dikirim) biasanya terdiri dari ambeng (tumpeng kecil yang berbentuk tumpul), lauk-pauk, serundeng, dan yang tidak pernah ketinggalan adalah kerupuk merah. Pada acara munjungi setiap anak harus mengatakan siapa dirinya, siapa ayah-ibunya, letak rumahnya, dan beberapa informasi lainnya, seperti kelas berapa sekolahnya.
Acara munjungi menjadi acara perkenalan bagi anggota keluarga baru, yaitu anak-anak. Setiap yang dipunjungi akan memberikan sangu dan sedikit bercerita hubungan si anak dengannya. Cerita-cerita keluarga juga sering disampaikan pada si anak. Status turunan keluarga juga penting, misalnya sebutan yang diucapkan anak pada yang dipunjungi akan segera dikoreksi jika salah. Secara tidak langsung, ini menjelaskan bagaimana jaringan kekeluargaan terbangun di Desa Pesanggrahan.
Acara berikutnya adalah kepungan atau kenduri. Kepungan diadakan di setiap rumah yang dilakukan bergantian dari satu rumah langsung ke rumah yang lain. Belakangan ini, ada beberapa rumah yang melakukannya secara bersamaan. Upacara kepungan dipimpin oleh seorang kamitua dan kayim. Kamitua berperan sebagai pembaca doa dalam bahasa Banyumasan dan kayim berperan sebagai pembaca doa dalam bahasa Arab (Islam). Tata urutnya, Kamitua membakar kemenyan dan membacakan do'a bagi para leluhur dan anggota keluarga yang telah meninggal. Setelah do'a dalam bahasa Banyumasan selesai dilanjutkan doa bahasa Arab oleh Kayim sebagai penutup.
Nasi tumpeng merupakan makanan yang menjadi syarat wajib. Jumlah tumpeng disesuaikan dengan jumlah kepala keluarga (KK) yang menyelenggarakannya. Bila dalam satu rumah ada dua kepala keluarga maka jumlah tumpengnya juga dua. Jumlah tumpeng juga ditentukan oleh siapa yang terlibat dalam upacara. Dalam tumpeng biasanya diberi lauk mogana. Mogana adalah ayam goreng yang dicampur dengan serundeng.
Ritual Sadran selanjutnya perlon, semacam doa bersama yang diadakan di rumah, biasanya di rumah adat yang biasa dipakai untuk acara resmi. Acara perlon dipimpin oleh tokoh adat, yang disebut kunci. Dalam ritual perlon seluruh warga berkumpul sembari membawa makanan dan lauk-pauknya. Makanan dan lauk-pauk itu lalu dikumpulkan untuk dibacakan doa oleh Kunci. Pada akhir acara, makanan itu akan diambil-kembali oleh pembawanya untuk dimakan oleh seluruh anggota keluarga dan harus habis.
Selain itu, mereka juga memasak becek (gulai kambing). Kambing yang dimasak diperoleh dari urunan warga. Ada juga warga yang menyumbang kambing sendiri karena cita-cita mereka terkabul. Becek kambing itu selanjutnya dibagi-bagikan kepada warga. Upacara Sadran diakhiri dengan ritual nderek, yaitu mengunjungi makam leluhur yang berada di Kedung Rringin Jatilawang-Banyumas. Kedung Wringin dipercaya menjadi makam leluhur Desa Pesanggrahan yang membawa paham Kejawen di daerah ini.
Hubungan Antara Agama dan Budaya
Hubungan antara agama dengan budaya berada pada posisi yang saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Dalam konteks ini agama membutuhkan budaya untuk lebih mudah masyarakat dalam memahami ajaran agama. Budaya masyarakat yang sudah melekat erat mejadikan masyarakat jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak mengherankan kalau pelaksanaan bersih desa masih kental dengan budaya Hindu-Budha dan animisme yang diakulturasi dengan nilai-nilai islam oleh wali songo. Dari tata cara diatas jelas bahwa bersih desa itu tidak sekedar ziarah kemakam leluhur, tetapi juga terdapat nilai-nilai sosial budaya semisal budaya gotong royong, pengorbanan, status sosial/ekonomi warga. Disini semakin jelas adanya nilai transformasi budaya dan tradisi dari kaum tua kepada kaum muda. Pola interaksi antara masyarakat lokal Hindu-Budha dan nilai-nilai islam menjadikan islam warna-warni.



@chosa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar